Proposal Skripsi 2013


STUDY ANALISA TENTANG HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN DITINJAU DARI PANDANGAN FUQOHA DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

A.       Latar Belajar Masalah
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitssaqan Ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah[1], bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa[2], sekaligus menjadikan perbuatan yang sangat agung dan sakral. Inilah yang yang membuat ikatan ini berbeda dengan ikatan yang lainya. Banyak hal yang harus di lalui saat akan menjalani perkawinan, mulai dari acara khitbah dan di lanjutkan dengan prosesi akad nikah yang sangat sakral sekali hingga prosesi walimah dilakukan yang bertujuan untuk mempublikasikan kepada masyarakat dan handai taulan bahwasanya pasangan tersebut  telah menjadi suami istri yang sah.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Suami atau isteri yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta bersama. Meskipun harta bersama tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai usahanya sedangkan isteri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan hanya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.
Suami maupun isteri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya tersebut selagi untuk kepentingan rumah tangganya yang tentunya dengan persetujuan kedua belah pihak (suami-isteri). Dan ini berbeda dengan harta bawaan yang keduanya berhak untuk menggunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata isi dari buku  ke satu, bab ke lima tentang hak dan kewajiban suami dan isteri yaitu, setiap suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi isterinya kecuali kiranya tentang hal tersebut telah diperjanjikan. Sebaliknya, suami harus mengurus harta kekayaan tersebut layaknya seorang bapak rumah tangga yang baik dan karenanya pun harus bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusannya. Suami tidak diperbolehkan memindahtangankan, atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan dari sang isteri. (R. Subekti,R. Tjitrsudibio, Pasal 105, 2008: 27)
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami maupun isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing selama para pihak suami dan isteri tidak menentukan lain sesuai yang dinyatakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 35. (Hilman Hadikusuma, S.H 1990:155)
Keberadaan harta bersama dalam perkawinan di Indonesia pada dasarnya diawali dengan adanya adat kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang mengenal tidak adanya pembatasan atas harta antara suami istri. Dalam kondisi ini, hak dan kewajiban rumah tangga terutama yang berkaitan dengan masalah pembelanjaan harta diatur secara ketat. Ketentuan hukum Islam pada dasarnya tidak pernah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan. Tidak ada seorang ulama dari mazhab yang masyhur berbicara perihal harta bersama dalam kitab-kitabnya sebagaimana yang dijelaskan dalam adat istiadat.
Praktek harta bersama di Indonesia berbeda-beda sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah masing-masing. Hazairin berpendapat bahwa tidak ditemukan dalam kitab suci agama mana pun perihal harta bersama. Dalam Islam, meskipun pembahasan mengenai harta bersama tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an, hal itu bukan berarti praktek harta bersama dilarang. Praktek harta bersama boleh dilaksanakan dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pembahasan harta bersama di Indonesia dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Hak dan Kewajiban suami-isteri dalam perkawinan mempunyai akibat hukum yang tidak hanya mengikat secara pribadi terhadap mereka yang melangsungkan pernikahan, akan tetapi mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami-isteri (harta besama dalam pernikahan) nya tersebut. Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaannya terjalin sedemikian eratnya, sehingga keduanya memang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya dan hukum harta perkawinan yang tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga.
Harta bersama atau yang lebih di kenal dengan harta gono-gini adalah harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan oleh pasangan suami isteri secara bersama-sama selama masa perkawinan masih berlangsung. (Happy Susanto, 2008: 2). Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari harta bersama.
Menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenai harta bersama setelah perceraian juga disebutkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri sepenuhnya menjadi hak dari masing-masing untuk mempergunakannya. Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. (H.Abdurrahman, SH 2007 :113)
Pada dasarnya akta perjanjian dalam perkawinan tidak banyak membantu sang isteri dalam mengelola kepemilikan harta bersama tersebut karena suami memiliki peran yang sangat besar dalam pengelolaan harta bersama tersebut, yaitu dapat berhutang tanpa seizin isteri. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa harta-harta yang termasuk kebersamaan dalam harta gono gini atau harta bersama, maka suami berhak melakukan pengurusan terhadapnya. Dengan demikian meskipun harta istri atas nama dirinya sendiri dapat dilelang dan di sita untuk melunasi hutang-hutang yang tergolong dalam kebersamaan harta bersama.
Meskipun demikian, isteri mempunyai sejumlah hak yang didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu. Isteri diperbolehkan membebani atau memindahtangankan barang-barang persatuan dengan kondisi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 125 KUHPerdata yang berbunyi “apabila si suami dalam keadaan tidak hadir ataupun dalam ketidak mampuan dalam menyatakan kehendaknya, dan tindakan dengan segera sangat dibutuhkan,maka bolehlah si isteri membebani atau memindahtangankan barang-barang persatuan setelah di kuasakan oleh pengadilan negeri untuk itu”.
Isteri juga berhak untuk melepaskan bagiannya dalam kebersamaan harta perkawinan sebagai berikut :
a.              Isteri tidak berhak lagi atas bagiannya dari aktiva harta gono gini. Hal ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 132 ayat (1) “setiap isteri berhak melepaskan haknya atas persatuan, segala perjanjian bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal, sekali ia melepaskannya tidaklah boleh ia menuntut barang-barang sesuatupun dari persatuan melainkan barang-barang seperti selimut, seprei, dan pakaian-pakaian pribadinya”. Berdasarkan ketentuan ini hak isteri untuk melepaskan haknya tidak dihapuskan oleh perjanjian antara suami dan isteri atau antara isteri dengan pihak ketiga, artinya segala pejanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini menjadi batal.
b.             Isteri dibatasi kewajibannya dalam hal membayar hutang-hutang harta bersama. Hal ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 132 ayat (2) “karena pelepasan itu terbebaslah itu dari kewajiban dalam hal akan ikut dalam membayar hutang-hutang persatuan”. Artinya si isteri dibatasi kewajibannya dalam hal pelunasan hutang-hutang dalam harta bersama karena ia telah melepaskan haknya dalam persatuan harta bersama.
Pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain tentang anak dan hak kewajiban tentang harta. Bahkan kemudian akan kemungkinan pembagian harta bila perkawinan putus, baik karena perceraian atau karena kematian. Untuk kali ini, dalam tulisan ini hanya akan dibahas tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta perkawinan, berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik mengadakan study analisa mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan menurut Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan menurut pendapat fuqoha hukum islam, kemudian di tuangkan dengan judul : STUDY ANALISA TENTANG HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN DITINJAU DARI PANDANGAN FUQOHA DAN UNDANG - UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah diantaranya :
a.       Bagaimana pengertian tentang harta bersama menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1947 tentang perkawinan.?
b.      Bagaimana pengertian tentang harta bersama menurut Fuqoha?
c.       Apakah ada perbedaan dan persamaan tentang harta bersama antara Fuqoha dan Undang-Undang No. 1 tahun 1947 tentang perkawinan?
C.      Tujuan Pembahasan
Lanjutan


[1] Kompilasi Hukum Islam, Bab II Dasar-Dasar Perkawinan, Pasal 2
[2] Undang-Undang Tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1

Proposal Skripsi 2013 Proposal Skripsi 2013 Reviewed by Belajar Dan Berbagai on Wednesday, May 08, 2013 Rating: 5

No comments:

Tulis untuk peningkatan pengetahuan

Powered by Blogger.