Kata orang tua kita hidup berkeluarga adl kehidupan orang
dewasa. Perkataan seperti ini memang sesuai dgn kenyataan yg ada krn orang yg
menjalani hidup berkeluarga harus siap bersikap dewasa dlm menghadapi liku-liku
hidup berumah tangga.
Salah satu sikap kedewasaan dari seseorang adl bila ia tdk
semata menuntut agar semua hak dipenuhi tanpa menyeimbangkan dgn pemenuhan
kewajiban dan tanggung jawabnya. Sudah seharus orang yg berumah tangga mengerti
apa yg menjadi kewajiban terhadap pasangan dan memahami tanggung jawab kemudian
berupaya semampunya memenuhi dan melaksanakan kewajiban tersebut.
Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami
adl memberi nafkah kepada istri dan anak-anak sesuai kemampuan. Kewajiban ini
selain ditunjukkan dlm Al Qur’an dan As-Sunnah juga dgn ijma’ .
Sengaja kita angkat permasalahan ini krn ada di antara suami
yg tdk tahu atau pura-pura tdk tahu dgn kewajiban yg satu ini sehingga ia
berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya. Satu contoh kasus
seorang ibu dari tiga anak mengeluhkan suami yg enggan bekerja utk menafkahi
keluarganya. Kalaupun ia bekerja mk hasil semata utk diri sendiri utk makan
enak dan membeli kebutuhannya. Sementara utk makan sehari-hari anak dan istri
ditanggung oleh sang istri yg terpaksa berjualan makanan ringan utk menghidupi
diri dan anak-anaknya. Sesekali si suami mau mengeluarkan uang dari saku bila
istri telah marah-marah dan menuntut tanggung jawabnya.
Lain lagi kisah seorang ibu setengah baya yg telah memiliki
beberapa orang cucu. Setelah berhenti dari pekerjaan sang suami hanya tinggal
di rumah tdk mau mencari nafkah utk keluarganya. Akhir tanggung jawab memberi
nafkah pun beralih kepada sang istri sementara suami bersikap masa bodoh.
Dua kasus yg kami sebutkan di atas benar-benar terjadi dan
mungkin banyak pula kejadian yg sejenis baik itu di kalangan orang yg kelihatan
mengerti agama terlebih lagi di kalangan orang awam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan kewajiban
suami ini:
وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dgn cara yg ma’ruf.”
Ketika Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu berta kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apa hak istri salah
seorang dari kami terhadap suaminya?”
Beliau menjawab:
}
“Engkau beri makan istrimu bila engkau makan dan engkau beri
pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajah jangan engkau
jelekkan1 dan jangan engkau boikot kecuali di dlm rumah.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini
terdapat dalil tentang wajib suami memberi makan kepada istri dgn apa yg ia
makan dan memberi pakaian kepada istri dgn apa yg ia pakai tdk boleh memukul
dan tdk pula menjelekkannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’
berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah beliau
memberi peringatan dan nasehat. Kemudian beliau berkata:
}
“Ketahuilah berpesanlah tentang kebaikan terhadap para
wanita 2 krn mereka hanyalah tawanan di sisi kalian kalian tdk menguasai dari
mereka sedikitpun kecuali hanya itu3 terkecuali bila mereka melakukan perbuatan
keji yg nyata4. mk bila mereka melakukan hal itu boikotlah mereka di tempat
tidur dan pukullah mereka dgn pukulan yg tdk meninggalkan bekas. Namun bila
mereka menaati kalian tdk ada jalan bagi kalian utk menyakiti mereka.
Ketahuilah kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun
memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adl mereka tdk boleh
membiarkan seorang yg kalian benci utk menginjak permadani kalian dan mereka
tdk boleh mengijinkan orang yg kalian benci utk masuk ke rumah kalian.
Sedangkan hak mereka terhadap kalian adl kalian berbuat baik terhadap mereka
dlm hal pakaian dan makanan mereka.”
Hendak para suami mengetahui bahwa nafkah yg ia berikan
kepada keluarga tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah itu
terhitung sebagai amalan sedekah sebagaimana hadits Abu Mas’ud Al-Anshari
radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
}
“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarga dan
dia mengharapkan pahala dengan mk nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya.”
Sampaipun satu suapan yg diberikan seorang suami kepada
istri teranggap sebagai amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat beliau Sa’ad bin Abi Waqqash
radhiallahu ‘anhu:
}
“Dan apa pun yg engkau nafkahkan mk itu teranggap sebagai
sedekah bagimu sampaipun suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
}
“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yg dengan engkau
mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengan sampaipun satu
suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”
Al-Muhallab berkata: “Nafkah utk keluarga hukum wajib dgn
ijma’ . Adapun Penetap syariat menamakan dgn sedekah hanyalah dikarenakan
kekhawatiran ada sangkaan bahwa mereka tdk akan diberi pahala atas kewajiban yg
mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah mk Penetap syariat
mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yg mereka keluarkan adl sedekah
mereka sehingga mereka tdk mengeluarkan sedekah itu kepada selain keluarga
kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Dan penamaan infak ini dgn
sedekah adl dlm rangka mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yg wajib
daripada sedekah yg sunnah.”
Namun tentu nafkah itu barulah bernilai sedekah bila
dibarengi dgn niat krn Allah sebagaimana ditunjukkan dlm hadits Sa’ad di atas.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menerangkan
hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu: “Hadits ini menerangkan bahwa
yg dimaukan dgn sedekah dan nafkah secara mutlak dlm hadits-hadits yg ada adl
bila orang yg mengeluarkan itu ihtisab makna ia menginginkan wajah Allah dgn
nafkah tersebut. Sehingga bila seseorang memberikan nafkah dlm keadaan lupa
atau kacau pikiran tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yg dinyatakan
dlm hadits ini namun yg masuk dlm hadits ini hanyalah bila seseorang itu
muhtasib ia ingat kewajiban utk memberikan infak kepada istri anak-anak budak
dan orang2 yg wajib ia nafkahi selain mereka…”
Beliau juga berkata ketika mensyarah hadits Sa’ad: “Hadits
ini menunjukkan disenangi memberi infak dlm berbagai perkara kebaikan dan
menunjukkan bahwa amalan itu tergantung niat sehingga seseorang itu hanyalah
diberi pahala atas amal dgn niatnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa memberi
infak kepada keluarga akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana pula dlm hadits ini ditunjukkan bahwa perkara
mubah bila diniatkan utk mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadi
amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan
tentang hal ini dgn sabda beliau: “Sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke
mulut istrimu” sementara istri termasuk bagian dunia yg paling khusus bagi
seorang laki2 tempat pelampiasan syahwat dan tempat kelezatan yg mubah. Biasa
menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang bercengkerama berlemah lembut dan
bercumbu dgn sesuatu yg mubah. Bila dipikir keadaan seperti ini tentu sangat
jauh dari ketaatan dan perkara-perkara akhirat. Namun bersamaan dgn itu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami memaksudkan suapan
tersebut dlm rangka mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala mk ia akan
memperoleh pahala dgn perbuatan tersebut.
Tentu perbuatan yg selain ini lbh pantas utk memperoleh
pahala bila ditujukan . Terkandung dlm hal ini apabila manusia melakukanIkrn wajah Allah sesuatu yg
asal mubah dgn mengharap wajah Allah mk ia akan diberi pahala seperti bila
seseorang makan dgn niat agar kuat dlm melakukan ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidur utk istirahat agar bisa bangun utk melaksanakan
ibadah dlm keadaan segar lagi bersemangat bercumbu dgn istri dan budak wanita
yg dimiliki dgn tujuan menjaga diri pandangan dan selain dari perkara yg haram
juga utk tujuan memenuhi hak istri dan utk memperoleh anak yg shalih. Inilah
makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wallahu a’lam.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata:
“Dari hadits ini diambil faidah bahwasa satu amalan tdk akan diperoleh pahala
karena kecuali bila amalan itu bergandengan dgn niat.”
Kemudian beliau menukilkan ucapan Al-Imam Ath-Thabari secara
ringkas: “Wajib memberi nafkah kepada keluarga. Orang yg melakukan akan diberi
pahala dgn tujuannya. Dan tidaklah saling bertentangan antara keberadaan nafkah
ini sebagai sesuatu yg wajib dgn penamaan sebagai sedekah bahkan nafkah ini lbh
utama daripada sedekah yg sunnah.”
Nafkah yg diberikan seorang suami kepada keluarga merupakan
nafkah yg paling utama dan paling besar pahala di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Tsauban radhiallahu ‘anhu menuturkan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
}
“Dinar yg paling utama yg dibelanjakan oleh seseorang adl
dinar yg dinafkahkan utk keluarga dan dinar yg dibelanjakan oleh seseorang utk
tunggangan dlm jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dinar yg diinfakkan
oleh seseorang utk teman-teman di jalan Allah.”
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
}
“Satu dinar yg engkau belanjakan di jalan Allah satu dinar
yg engkau keluarkan utk membebaskan budak satu dinar yg engkau sedekahkan
kepada seorang miskin dan satu dinar yg engkau nafkahkan utk keluargamu mk yg
paling besar pahala dari semua nafkah tersebut adl satu dinar yg engkau
nafkahkan utk keluargamu.”
Tentu nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dgn
kadar kemampuan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang yg mampu hendak memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yg disempitkan rizki hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan
Allah kepadanya. Allah tdk memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar
apa yg Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah
kesempitan yg ada.”
Tidak ada penetapan besar nafkah yg wajib dikeluarkan oleh
suami namun yg jadi patokan adl kecukupan nafkah tersebut bagi yg dinafkahi
demikian pendapat jumhur ulama dari perselisihan pendapat yg ada.
Para suami hendak mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
berjanji utk mengganti nafkah yg telah diberikan oleh seorang hamba dan tentu
ganti dari Allah lbh baik dan lbh mulia.
“Dan apa saja yg kalian nafkahkan mk Allah akan mengganti
dan Dialah Pemberi rizki yg sebaik-baiknya.”
Seorang suami yg tdk memberikan nafkah kepada keluarga
sementara ia punya kemampuan berarti ia telah melalaikan satu kewajiban yg
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan di pundak dan cukuplah bagi utk
mendapatkan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini
dlm sabdanya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوَّتَهُ
“Cukuplah bagi seseorang utk mendapatkan dosa bila ia
menahan makanan dari orang yg berhak mendapatkan makanan darinya.”6
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Hadits ini
merupakan dalil tentang wajib seseorang memberi nafkah kepada orang yg di bawah
tanggungannya. Karena tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali krn ia telah
meninggalkan kewajibannya. Disampaikan di sini bahwa dosa tersebut cukup utk
membinasakan diri tanpa harus menyertakan dosa yg selainnya.”
Bila ternyata seorang suami tdk memberikan nafkah kepada
istri dgn pemberian yg mencukupi atau malah tdk memberikan sama sekali diperkenankan
bagi seorang istri utk mengambil dari harta suami walau tanpa sepengetahuannya.
Hal ini pernah terjadi pada diri Hindun bintu ‘Utbah radhiallahu ‘anha istri
Abu Sufyan dan ibu dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Ia
mengadukan keadaan diri kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَ لَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا
يَكْفِيْنِي وَ وَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَ هُوَ لاَ يَعْلَم ُ7
.
فَقَالَ : }
“Abu Sufyan itu seorang lelaki yg bakhil.8 Ia tdk memberi
nafkah yg cukup padaku dan anakku kecuali bila aku mengambil dari harta dlm
keadaan ia tdk tahu.”9 Rasulullah menjawab: “Ambillah untukmu dan anakmu dgn
apa yg mencukupimu dgn cara yg ma’ruf.”
Namun tentu seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta
tersebut dgn cara yg ma’ruf yaitu kadar harta yg diambil tersebut diketahui
secara kebiasaan telah mencukupi.
Adapun bila suami telah memberikan nafkah dgn cukup sesuai
kemampuan tdk boleh seorang istri mengambil harta suami tanpa ijinnya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Maksud kata Abu Dawud dgn mengatakan: “Semoga Allah
menjelekkanmu.” . Demikian pula mengucapkan ucapan yg jelek mencerca mencela
dan semisalnya.
2 Berkata Al-Qadhi: “Al-Istisha adl menerima wasiat mk makna
ucapan Nabi ini adalah: Aku wasiatkan kalian utk berbuat kebaikan terhadap para
istri mk terimalah wasiatku ini.”
3 Yakni selain istimta’ menjaga diri utk suami menjaga harta
suami dan anak serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya.
4 Seperti nusyuz buruk pergaulan dgn suami dan tdk menjaga
kehormatan diri.
5 Yang dimaksud dgn yahtasibuha adl bertujuan utk mencari
pahala.
6 Orang yg ia beri makan adl mereka yg wajib utk ia berikan
infak/nafkah yaitu istri anak-anak budak yg diimiliki.
7 dlm lafadz lain Hindun berkata:
“Apakah aku berdosa bila aku mengambil dari harta dgn
sembunyi-sembunyi?”
8 Al-Qurthubi menyatakan: “Hindun tidaklah memaksudkan bahwa
sifat Abu Sufyan itu bakhil dlm seluruh keadaannya. Namun ia hanyalah mensifatkan
keadaan diri bersama Abu Sufyan bahwa Abu Sufyan menyempitkan pemberian nafkah
untuk dan utk anak-anaknya. Dan ini tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu Sufyan
itu memiliki sifat bakhil secara mutlak krn kebanyakan para tokoh/pemimpin
melakukan hal tersebut terhadap istri dan ia mementingkan/lebih mendahulukan
orang lain dlm rangka mengambil hati mereka.”
9 Hadits ini merupakan satu dalil tentang boleh seseorang
menyebut perkara orang lain yg tdk ia sukai bila dlm rangka meminta fatwa
kepada seorang alim atau mengadukan perkara kepada orang yg berwenang dan
semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yg diperbolehkan.
Sedekah yang Paling Utama
Reviewed by Belajar Dan Berbagai
on
Friday, May 08, 2015
Rating:
No comments:
Tulis untuk peningkatan pengetahuan