A.
SEJARAH MUNCULNYA USHUL FIQH
Ushul Fiqh sebagai suatu cabang ilmu tersendiri sebagaimana kita kenal
sekarang ini, pada masa Rasulullah saw belum dikenal. Hal ini disebabkan pada
masa Rasulullah saw, dalam memberikan fatwa dan menetapkan hukum dapat secara
langsung mengambil dari nas al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau
menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu
juga.
Di samping itu beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum
tertentu, akan tetapi ijtihadnya itu dilakukan secara naluri, artinya dilakukan
tanpa memerlukan ushul dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam
mengistinbatkan hukum.
Pada masa Rasulullah saw, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini
belum diperlukan, sebab rasulullah saw dan para sahabat, ketika itu dapat
memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an.
Pada masa sahabat, Ilmu Ushul Fiqh belum juga dikenal. Para sahabat Nabi SAW
memberikan fatwa-fatwa dan menetapkan hukum dengan berdasarkan pada dalil-dalil
nas yang dapat mereka pahami berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami
bahasa arab, tanpa memerlukan kaidah bahas yang dijadikan pedoman dalam
memahami nas. Mereka juga menetapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang
tidak dijumpai nasnya secara langsung dengan berdasarkan pada kemampuan mereka
dalam memahami perkembangan pembinaan Hukum Islam, lantaran pergaulan mereka
dengan Rasulullah saw.
Disamping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan
wurudnya hadis-hadis Nabi saw. Mereka memahami tujuan dan dasar-dasar
pembentukan hukum. Tegasnya, para sahabat mempunyai pengetahuan yang sempurna
tentang al-Qur’an, as-Sunnah, bahasa arab dan mengetahui pula sebab-sebab
turunnya, rahasia-rahasia dan tujuannya.
Pengetahuan ini disebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi saw,
disamping kecerdasan yang mereka miliki sendiri. Karena itu, mereka tidak
memerlukan peraturan-peraturan dalam mengistinbatkan hukum, seperti halnya pula
mereka tidak membutuhkan kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri.
Sesudah Islam meluas dan bangsa arab telah banyak bergaul dengan
bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan bahasa arab. Selain untuk menjaga
bahasa arab sendiri (yang juga dijadikan sebagai bahasa al-Qur’an) dari
pengaruh-pengaruh bahasa lain, juga agar bahasa itu mudah dipelajari oleh
bangsa lain. Disamping itu, banyak peristiwa-peristiwa baru yang timbul dalam
segala lapangan kehidupan. Keadaan ini menyebabkan para ulama dan pendukung
syari’at islam berusaha untuk mencari dan menentukan hukum bagi
peristiwa-peristiwa tersebut.
Lebih jauh
dari itu, para ulama tersebut telah tersebar di negeri-negeri yang baru dan
telah terpengaruh pula oleh lingkungan dan cara berfikir negeri-negeri itu yang
berbeda satu dengan lainnya. Keadaan itu, sangat berpengaruh terhadap pola
penetapan hukum. Karena itulah, maka masing-masing ulama dalam melakukan
ijtihad dan menetapkan hukum menempuh metode-metode sendiri yang dipandangnya
benar atau yang sesuai dengan jalan pikiran mereka masing-masing. Keadaan ini
sudah tentu menimbulkan perbedaan pendapat, baik menyangkut keputusan hakim
maupun menyangkut fatwa, bukan saja antara satu negeri dengan negeri lainnya,
bahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam satu negeri.
Perbedaan cara dan metode dalam menetapkan hukum
tersebut, akhirnya menimbulkan aliran-aliran tertentu, yang dikenal dengan
aliran Ahl al-Hadist dan aliran Ahl ar-Ra’y. Kedua aliran ini
mempunyai cara dan corak masing-masing dalam menetapkan hukum. Para pengikut aliran-aliran ini, sekalipun
berani mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan pendapat alirannya.
Mereka menjadikan sesuatu sebagai hujjah, padahal sebenarnya tidaklah patut
dijadikan hujjah, demikian pula sebaliknya.
Semua
kenyataan di atas, menjadi suatu dorongan dan motivasi disusunnya batas-batas
dan bahasan-bahasan mengenai dalil-dalil syara’ dan syarat-syarat ataupun cara
dan metode dalam menggunakan dalil-dalil tersebut. Timbulllah pikiran untuk
membikin peraturan-peraturan dalam melakukan ijtihad dan penetapan hukum.
Peraturan-peraturan itu dimaksudkan agar dapatb diperoleh pendapat yang benar
dan agar dapat dipersempit jarak perbedaan pendapat tersebut. Keseluruhan
peraturan itu berupa kaidah-kaidah yang harus dipegangi oleh para mujtahid
dalam mengistinbatkan hukum. Kaidah-kaidah itulah, yang kemudian disebut dengan
istilah ”Uŝul al-Fiqh” dan merupakan ilmu yang berdiri sendiri.
Hanya saja
pada awal pertumbuhannya ini Ushul Fiqh baru merupakan ilmu yang masih sangat
sederhana sekali. Ushul Fiqh dikenal sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri
sendiri pada abad kedua Hijriyah.
Ibn an-Nadîm dalam kitab ”al-Fihrasat” yang ditulis sekitar
tahun 377 H, menjelaskan bahwa yang mula-mula menyusun kaidah-kaidah seperti di
atas itu adalah Abu Yusuf (wafat tahun 182 H) dan Muhammad Ibn
al-Hasan (wafat tahun 189 H), keduanya murid Abu Hanifah. Akan tetapi
susunan kedua ulama ini tidak sampai kepada kita sekarang ini.
Sedangkan
orang yang pertama sekali membuat kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan
ilmu ini, sehingga merupakan himpunan kaidah yang disusun secara sistematis,
serta masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan alasan yang mendalam,
adalah al-Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya
”Ar-Risalah”
Dalam kitab
itu dibicarakan tentang al-Qur’an dan kehujjahannya, al-Hadis dan
macam-macamnya, al-Ijma’, al-Qiyas dan dasar-dasar mengistinbatkan hukum. Kitab
itulah sebagai kodifikasi yang pertama sekali dalam Ilmu Ushul Fiqh yang paling
dulu disusun yang sampai kepada kita sekarang ini. Oleh sebab itulah, para
ulama sepakat bahwa peletak batu pertama Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam
as-Syafi’i.
Setelah muncul
kita ar-Risalah itu, ulama-ulama yang lainpun berlomba-lomba menyusun ilmu ini,
sehingga Ilmu Ushul Fiqh menjadi lengkap seperti sekarang ini.
Perlu
diketahui pula bahwa tiap-tiap mujtahid mempunyai kaidah-kaidah istinbat hukum
tersendiri. Kaidah-kaidah itu ditulis dan dibukukan biasanya oleh
murid-muridnya. Sebelum dibukukan sering kali didiskusikan lebih dahulu. Karena
itulah, maka dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh juga timbul aliran-aliran.
B.
PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Perkembangan
ushul fiqh ada beberapa masa, yaitu:
1.
Masa Rasululloh
2. Masa Sahabat
3. Masa Tabi’in
4. Masa Pembukuan (Tadwin)
5.
Masa Modern
1.
Masa Rasululloh SAW
Di masa awal
hijriyah (Nabi Muhammad SAW) belum ada kebutuhan untuk ushul fiqh, karena
Rasulullah SAW sendiri yang berfatwa dan mengadili dengan apa yang diwahyukan
padanya (Al-Quran) dan diilhamkan (Sunnah), dan juga ijtihad beliau, sehingga
tidak membutuhkan Ushul atau kaidah istimbath dan ijtihad.
Rasululloh SAW
pernah mengajarkan ushul fiqh kepada para sahabat, yang diambil dari kasus
sahabat Umar ibn Khattab RA. Yaitu sebagai berikut:
عن عمر
قال : هشئت يوما فقبلت وأنا صائم فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت صنعت أمرا
عظيما قبلت وأنا صائم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أرأيت لو تمضمضت بماء وأنت صائم، قلت لا بأس بذلك،
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ففيم (النسائي)
"Wahai Rasulullah, hari ini saya telah
berbuat suatu perkara yang besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang
berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu,
seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa? Lalu
saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW
bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa!"
Pada hadits di
atas, Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium
isterinya dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena
berkumur-kumur.
1.
Masa Sahabat
Para Sahabat
setelahnya berfatwa dengan sumber Al-Quran & Sunnah, melalui pemahaman
mereka yang kuat tentang : Bahasa Arab, sebab-sebab turunya ayat Al-Qur’an (Asbabul
Nuzul) dan sebab-sebab datangnya hadits (Asbabul Wurud), dan pemahaman Maqoshid
Syariah serta prinsip-prinsip tasyri’ pada hal-hal yang tidak ada nash-nya.
Sebagai contoh :
Umar Ibn Khattab RA tidak menjalankan praktek hukum potong tangan
pada pencuri karena alasan darurat/ terpaksa di masa paceklik dan kelaparan.
2.
Masa Tabi’in
Setelah
meluasnya Islam, bangsa Arab bercampur dengan yang lainnya, maka terjadi assimilasi
pada Bahasa Arab, sehingga menimbulkan banyak kerancuan dan syubhat pada proses
memahami sebuah Nash. Maka dibutuhkan penyusuan kaidah bahasa.
Mulai
muncul perdebatan di kalangan ahli hadits dan ahli ro’yi, begitu
pula muncul kelompok yang berani menggunakan hujjah dengan hal-hal yang tidak
layak dijadikan hujjah, saling mengingkari hujjah. Ini semua
membutuhkan perumusan kaidah dan batasan batasan ushul fiqh yang jelas.
1.
Masa Pembukuan (Tadwin)
Ada tiga faktor
yang menyebabkan perlu dibukukannya Ushul Fiqh, yaitu sebagai berikut:
a.
Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
b.
Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam
akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
c.
Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
2.
Masa Modern
Orang yang
pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh disertai pembahasannya
secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian adalah
Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (W. 204 H). Beliau telah menulis kitab
“ar-Risalah” tentang ushul fiqh yang kemudian diriwayatkan oleh muridnya Rabi’
al-Muradi. Kitab inilah yang pertama kali disusun berisi tentang ilmu ushul
fiqh yang sampai pada kita. Sehingga dikenal oleh para ulama bahwa peletak
dasar ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi’i.
Kemudian
berturut-turut para ulama menyusun ilmu ushul fiqh ini dengan memperpanjang
pembahasan atau meringkasnya. Pada ahli teologi juga ikut menyusun ilmu ushul
fiqh dengan menggunakan metodenya. Sedangkan ulama madzhab Hanafi dalam
penyusunannya menggunakan metode lain.
C.
ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQH
Para ulama ahli ushul dalam membahas persoalan
ushul fiqh tidak selalu sama. Meskipun mereka sepakat tentang mecam-macam
pembahasan, akan tetapi dalam pemakaian istilah dan metode tidak semuanya sama.
Metode yang ditempuh
oleh ulama ushul pada garis besarnya ada 2 (dua) macam dan masing-masing
merupakan bentuk dan corak yang menimbulkan aliran-aliran, yaitu :
1.
Metode Ulama Kalam
Dinamakan
”Metode Ulama Kalam”, sebab dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang
biasa ditempuh oleh Ulama Ahli Kalam dalam membahas Ilmu Kalam sehingga dinamai
Aliran Ulama Kalam. Para Ulama Ahli Ushul Fiqh yang termasuk dalam aliran ini
memakai akal pikiran yang rasional dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan
kaidah-kaidah, tanpa menghiraukan apakah kaidahnya itu sesuai dengan pendapat
para imam mahzabnya atau tidak peduli apakah kaidah-kaidah tersebut sesuai
dengan furu’ (hukum yang sudah berkembang di masyarakat) yang telah berjalan
dan berkembang dalam mahzab dan masyarakat. Yang termasuk aliran ini, ialah
kebanyakan para Ahli ushul Fiqh dari ulama Syafi’iyah dan Malikiyah.
2.
Metode Ulama Hanafiyah
Disebut dengan
”Metode Ulama Hanafiyah”, karena banyak digunakan oleh ulama Hanafiyah dan oleh
sebab itu dikenal pula dengan Aliran hanafiyah. Dalam membahas soal-soal yang
berkaitan dengan Ushul Fiqh, mereka selalu memperhatikan dan menyesuaikan
dengan soal-soal furu’, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mereka sebenarnya
menetapkan kaidah-kaidah berdasarkan pada soal-soal furu’ yang telah diterima
dan disepakati oleh imam-imam mereka, tanpa memandang alasan-alasan dan jalan
pikiran yang rasional. Ushul dari Aliran Hanafiyah ini banyak berisi hukum
furu’, karena itulah yang menjadi dasar bagi pembentukan kaidah-kaidah yang
ditetapkan.
D. KITAB-KITAB USHUL FIQH
Kitab Ushul
Fiqh ”Ar-Risâlah” yang disusun oleh Imam asy-Syafi’i merupakan kitab
yang muncul pertama kali, setelah itu para ulama berbagai aliran mulai banyak
menyusun kaidah-kaidah dan menyusunnya dalam sebuah kitab. Beberapa kitab ushul
fiqh yang penting :
1.
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan metode Ulama
Kalam :
a. Al-Mu’tamad : karangan Abu al-Husain Muhammad ibn aly
al-Basri (Aliran Mu’tazilah, wafat tahun 413 H).
b. Al-Burhân : karangan Abu al-Ma’aliy Abdul Malik ibn
Abdillah al-Juwaini an-Naisaburi, terkenal dengan Imam al-Haramain (ulama
Syafi’iyah, wafat tahun 487).
c. Al-Mustasfây : karangan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
al-Ghazali (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 505 H).
Diantara
ketiga kitab diatas, yang sampai kepada kita sekarang adalah ”Al-Mustasfây”
yang lain merupakan nukilan-nukilan saja. Sesudah kitab-kitab tersebut, ada 2
(dua) kitab yang merupakan ikhtisar dari ketiga kitab tersebut, yaitu :
a.
Al-Mahsûl : disusun oleh Fahruddin Muhammad ibn Umar
ar-Razi (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 606 H).
b.
Al-Ihkām fī Usûl al-Ahkām : disusun Abu al-Husain Aly,
yang terkenal dengan Saifuddin al-Amidi (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 631 H).
2.
Kitab-kitab ushul fiqh
yang disusun dengan metode Ulama Hanafiyah :
a.
Usûl Fiqh : disusun oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340
H).
b.
Usûl Fiqh : disusun oleh Abi Bakar ar-Razi (w. 370 H).
c.
Ta’sīs an-Nazar : oleh Abu Zaid Ubaidillah ibn Umar
al-qadi ad-Dabusiy (w. 430 H).
d.
Usûl al-Bazdawiy : oleh Fakhrul Islam Aly ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 482 H).
e.
Tamhīd al-Fusûl fi al-Usûl : oleh Syamsul Aimmah Muhammad
ibn Ahmad as-Sarkhasi (w. 483 H)
f.
Al-Manār : oleh Abdullah ibn Ahmad, terkenal julukan
Hafiduddin an-Nasafi (w. 790 H).
http://muhdar-ahmad.blogspot.com/2011/12/
http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html
http://ikadaonline.wordpress.com/2012/04/19/sejarah-perkembangan-ushul-fiqih-3/
I'lamul Muwaqqi'in, Juz: I, hal: 199
http://ikadaonline.wordpress.com/2012/04/19/sejarah-perkembangan-ushul-fiqih-3/
Abdul Wahab Khallaf, 2003. Ilmu Ushul
Fikih Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani
http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html
Munculnya Ushul Fiqih
Reviewed by Belajar Dan Berbagai
on
Thursday, December 27, 2012
Rating:
artikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah..kalau kayak gini jadi tau munculnya ushul fiqih..tanks ya
ReplyDelete